JAKARTA,
liputanislam.com—Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono,
Selasa (14/1) hadir di lapangan Silang Monas, Jakarta untuk mengikuti
acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara akbar yang digelar Majelis
Rasulullah SAW ini menyisakan rasa duka di kalangan jamaah pengikut
majelis ini, karena kini Habib Munzir tidak lagi bersama mereka.
Almarhum Habib Munzir bin Fuad Al Musawa, pendiri Majelis Rasulullah
yang kegiatannya biasanya berpusat di Mesjid Raya Al Munawar, Pancoran,
Jakarta Selatan, itu telah wafat pada 15 September 2013.
Meskipun tak ada lagi kehadiran Habib Munzir, acara Maulid Nabi ini tetap berlangsung meriah. Ribuan massa memadati Monas, meski cuaca terik, dan Jakarta juga sedang dilanda musibah banjir. Sebagian hadirin menggunakan jaket hitam khas Majelis Rasulullah.
Penerus Habib Munzir, Habib Ahmad bin Jindan, dalam acara ini menyampaikan mengajak jamaah Majelis Rasulullah untuk meneladani Rasul. “Sebagai umat Islam, mari kita menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan, serta mengamalkan ajaran beliau dalam kehidupan,” ucap Habib Ahmad. Habib Ahmad seolah mengulangi lagi pesan-pesan almarhum Habib Munzir selama ini, yang dalam perjalanan dakwahnya senantiasa mengajak umat Islam untuk mencintai Nabi Muhammad dan sunnahnya. Habib Munzir juga sering berpesan kepada jamaah Majelis Rasulullah untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Presiden SBY dalam sambutannya antara lain menyatakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW harus senantiasa dijadikan momentum bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali semangat membangun toleransi. Menurut SBY, Nabi Muhammad SAW adalah contoh pemimpin besar yang berhasil menata bangsa yang majemuk. “Kita contoh Nabi Muhammad SAW karena beliau berhasil memimpin yang majemuk, membangun toleransi, menjaga ukhuwah, dan kerukunan bagi semua yang dipimpin. Hal ini cocok dengan Indonesia,” ujar SBY.
Pernyataan SBY ini agaknya sekaligus sebagai tanggapan atas maraknya perbedaan pendapat dan sikap intoleransi di Indonesia. Terkait perayaan Maulid Nabi pun, kelompok-kelompok intoleran getol sekali menyuarakan tuduhan bahwa Maulid adalah bid’ah, bahkan ada propaganda di media sosial bahwa Maulid adalah budaya kaum Syiah.
Tak urung Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yakub mengecam sikap seperti ini. Sebagaimana dilansir oleh ROL (23/1), Yakub mengatakan, “Kalau alasannya Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengerjakan (Maulid Nabi), jadi itu kemudian diharamkan? Maka sekarang haramkan saja umrah di bulan Ramadhan. Kan Nabi gak pernah mengerjakan.”
Namun demikian, pidato SBY ini tak pelak menimbulkan pertanyaan. Mengapa sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia, SBY masih belum mampu menyelesaikan sejumlah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang menggunakan dalih agama, seperti kasus Gereja Yasmin, kasus komunitas Syiah di Sampang, kasus Ahmadiyah? Bahkan, SBY terlihat mendiamkan saja upaya-upaya penggalangan misi jihad ke Suriah. Padahal, BNPT sudah mengkhawatirkan para jihadis yang bertempur ke Suriah akan kembali dengan kemampuan teror yang lebih besar dan melakukan aksi-aksi teror sebagaimana alumni jihad Afghanistan. Ansyaad Mbai, Direktur BNPT, mengatakan bahwa pemicu aksi teror di Indonesia saat ini sebetulnya tidak semuanya berasal dari isu-isu sensitif dalam negeri, seperti pemilu 2014. Namun aksi internasional yang bersinggungan dengan kelompok teroris lah yang dijadikan alasan.
“Bisa-bisa masalah di Suriah, penguasa Syiah yang memberontak mayoritas Suni, itu bisa diangkat jadi isu mereka dijadikan alasan mereka di sini. Dan bibit-bibit itu ada, seperti di sini itu ada di Sampang. Jadi semua gampang sekali picu aksi mereka,” beber Ansyaad.
Memang dirasakan banyak pihak, sejak memanasnya konflik Suriah, di Indonesia pun aksi-aksi intoleran semakin memanas. Ormas-ormas radikal semakin berani memakai kekerasan mengintimidasi pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Dengan masif mereka mengadakan berbagai acara, seminar, bedah buku, memasang spanduk-spanduk pengkafiran di berbagai kota di Indonesia. Seharusnya pemerintah SBY mempertanyakan, darimana dana besar yang mereka dapatkan untuk mengadakan rangkaian acara masif dan sistematis seperti itu.
Hal ini agaknya dideteksi juga oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, terkait dengan aksi intoleran terhadap acara Maulid Nabi. Kiai Ali Mustafa mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah. Penetapan itu menjadikan peringatan Maulid Nabi menjadi kontroversi di masyarkat.
“Dulu kan (pengharaman peringatan Maulid Nabi) tidak pernah ada sama sekali. Jadi kok tiba-tiba ada. Itu dari mana coba?” kata dia.
Momen Maulid, seharusnya menjadi momen kasih sayang di antara sesama umat Islam. Saat melayat Habib Munzir, SBY menyatakan bahwa kenangan manisnya bersama Habib adalah “Ketika beliau memberikan tausiah kepada kita pada peringatan Maulid Nabi. Dijelaskan satu persatu apa teladan luar biasa yang harus kita ikuti. Sungguh ini kenangan indah, kenangan manis yang tidak pernah kita lupakan,” ujar SBY saat itu.
Kini, di Majelis Rasulullah warisan Habib Muznir, SBY menyatakan, “Kita adalah umat Islam terbesar, tetapi juga bangsa yang majemuk. Umat Islam Indonesia pun harus memberikan contoh bahwa Islam merupakan rahmat bagi alam. Bangsa kita bisa hidup rukun dan bersatu.” Semoga saja pidato ini tak sekedar retorika belaka, namun diimplementasikan dalam hukum yang tegas menindak setiap aksi intoleransi beragama. (wz/republika/liputan6)
Meskipun tak ada lagi kehadiran Habib Munzir, acara Maulid Nabi ini tetap berlangsung meriah. Ribuan massa memadati Monas, meski cuaca terik, dan Jakarta juga sedang dilanda musibah banjir. Sebagian hadirin menggunakan jaket hitam khas Majelis Rasulullah.
Penerus Habib Munzir, Habib Ahmad bin Jindan, dalam acara ini menyampaikan mengajak jamaah Majelis Rasulullah untuk meneladani Rasul. “Sebagai umat Islam, mari kita menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan, serta mengamalkan ajaran beliau dalam kehidupan,” ucap Habib Ahmad. Habib Ahmad seolah mengulangi lagi pesan-pesan almarhum Habib Munzir selama ini, yang dalam perjalanan dakwahnya senantiasa mengajak umat Islam untuk mencintai Nabi Muhammad dan sunnahnya. Habib Munzir juga sering berpesan kepada jamaah Majelis Rasulullah untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Presiden SBY dalam sambutannya antara lain menyatakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW harus senantiasa dijadikan momentum bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali semangat membangun toleransi. Menurut SBY, Nabi Muhammad SAW adalah contoh pemimpin besar yang berhasil menata bangsa yang majemuk. “Kita contoh Nabi Muhammad SAW karena beliau berhasil memimpin yang majemuk, membangun toleransi, menjaga ukhuwah, dan kerukunan bagi semua yang dipimpin. Hal ini cocok dengan Indonesia,” ujar SBY.
Pernyataan SBY ini agaknya sekaligus sebagai tanggapan atas maraknya perbedaan pendapat dan sikap intoleransi di Indonesia. Terkait perayaan Maulid Nabi pun, kelompok-kelompok intoleran getol sekali menyuarakan tuduhan bahwa Maulid adalah bid’ah, bahkan ada propaganda di media sosial bahwa Maulid adalah budaya kaum Syiah.
Tak urung Imam Besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yakub mengecam sikap seperti ini. Sebagaimana dilansir oleh ROL (23/1), Yakub mengatakan, “Kalau alasannya Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengerjakan (Maulid Nabi), jadi itu kemudian diharamkan? Maka sekarang haramkan saja umrah di bulan Ramadhan. Kan Nabi gak pernah mengerjakan.”
Namun demikian, pidato SBY ini tak pelak menimbulkan pertanyaan. Mengapa sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia, SBY masih belum mampu menyelesaikan sejumlah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang menggunakan dalih agama, seperti kasus Gereja Yasmin, kasus komunitas Syiah di Sampang, kasus Ahmadiyah? Bahkan, SBY terlihat mendiamkan saja upaya-upaya penggalangan misi jihad ke Suriah. Padahal, BNPT sudah mengkhawatirkan para jihadis yang bertempur ke Suriah akan kembali dengan kemampuan teror yang lebih besar dan melakukan aksi-aksi teror sebagaimana alumni jihad Afghanistan. Ansyaad Mbai, Direktur BNPT, mengatakan bahwa pemicu aksi teror di Indonesia saat ini sebetulnya tidak semuanya berasal dari isu-isu sensitif dalam negeri, seperti pemilu 2014. Namun aksi internasional yang bersinggungan dengan kelompok teroris lah yang dijadikan alasan.
“Bisa-bisa masalah di Suriah, penguasa Syiah yang memberontak mayoritas Suni, itu bisa diangkat jadi isu mereka dijadikan alasan mereka di sini. Dan bibit-bibit itu ada, seperti di sini itu ada di Sampang. Jadi semua gampang sekali picu aksi mereka,” beber Ansyaad.
Memang dirasakan banyak pihak, sejak memanasnya konflik Suriah, di Indonesia pun aksi-aksi intoleran semakin memanas. Ormas-ormas radikal semakin berani memakai kekerasan mengintimidasi pihak-pihak yang tidak sejalan dengannya. Dengan masif mereka mengadakan berbagai acara, seminar, bedah buku, memasang spanduk-spanduk pengkafiran di berbagai kota di Indonesia. Seharusnya pemerintah SBY mempertanyakan, darimana dana besar yang mereka dapatkan untuk mengadakan rangkaian acara masif dan sistematis seperti itu.
Hal ini agaknya dideteksi juga oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, terkait dengan aksi intoleran terhadap acara Maulid Nabi. Kiai Ali Mustafa mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah. Penetapan itu menjadikan peringatan Maulid Nabi menjadi kontroversi di masyarkat.
“Dulu kan (pengharaman peringatan Maulid Nabi) tidak pernah ada sama sekali. Jadi kok tiba-tiba ada. Itu dari mana coba?” kata dia.
Momen Maulid, seharusnya menjadi momen kasih sayang di antara sesama umat Islam. Saat melayat Habib Munzir, SBY menyatakan bahwa kenangan manisnya bersama Habib adalah “Ketika beliau memberikan tausiah kepada kita pada peringatan Maulid Nabi. Dijelaskan satu persatu apa teladan luar biasa yang harus kita ikuti. Sungguh ini kenangan indah, kenangan manis yang tidak pernah kita lupakan,” ujar SBY saat itu.
Kini, di Majelis Rasulullah warisan Habib Muznir, SBY menyatakan, “Kita adalah umat Islam terbesar, tetapi juga bangsa yang majemuk. Umat Islam Indonesia pun harus memberikan contoh bahwa Islam merupakan rahmat bagi alam. Bangsa kita bisa hidup rukun dan bersatu.” Semoga saja pidato ini tak sekedar retorika belaka, namun diimplementasikan dalam hukum yang tegas menindak setiap aksi intoleransi beragama. (wz/republika/liputan6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar