Selasa, 02 September 2014

Sejarah Awal Perkembangan Majlis Taklim


Sejarah Awal Perkembangan Majlis Taklim

Majelis Taklim adalah sebuah institusi pengajaran Islam yang sudah hadir sejak masa awal Islam hingga kini. Keberadaannya yang tidak terpisahkan dari komunitas utama kaum muslimin di sepanjang masa, serta fungsinya yang sangat erat dengan keberadaan dakwah Islam itu sendiri menjadikan institusi pengajaran Islam ini tetap survive menghadapi kerasnya arus zaman dan kemajuan peradaban. Tulisan ini akan mengetengahkan sejarah dan perkembangan majelis taklim dari awal pendiriannya hingga kini.
A. Periode Awal Islam
        1. Masa Rasulullah SAW
Sejarah majelis taklim berawal dari kelahiran Islam sebagai agama baru bagi masyarakat dunia. Islam datang memperbaharui agama hanif yang bersendikan tauhid yang cikal bakalnya sudah disemaikan sejak masa Nabi Ibrahim AS. Rasulullah Muhammad SAW merupakan Nabi penerus kenabian sebelumnya, yang mengalami masa fatrah cukup panjang sejak dinaikkannya Isa AS ke langit. Masa jahiliyah yang meliputi masyarakat Arab akhir abad ke-6 masehi membutuhkan datangnya seorang Nabi yang menjadi figur panutan bagi setiap umat manusia di bumi, terutama figur panutan yang memiliki kemuliaan akhlak. Sejalan dengan kebutuhan zamannya, akhlak mulia dan budi pekerti luhur yang tertanam kuat dalam diri Rasulullah sejak masa kanak-kanak, masa muda, hingga dewasa dan menjadi Rasul pilihan Allah merupakan anugerah terbesar yang Allah berikan padanya. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an,
وَإِنكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
                “Dan sesungguhnya kamu memiliki budi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam/68:4)
Dengan akhlak yang mulia inilah misi dakwah Rasulullah SAW bertelekan, sebagaimana disabdakan dalam sebuah hadisnya,
أخبرني إسماعيل بن محمد بن الفضل بن محمد الشعراني ثنا جدي ثنا إبراهيم بن المنذر الحزامي ثنا عبد العزيز بن محمد عن ابن عجلان عن القعقاع بن حكيم عن أبي صالح عن أبي هريرة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
                Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Al-Hakim)[i]
Berbekal akhlak yang mulia, Nabi Muhammad menyampaikan (tabligh) wahyu yang diterimanya kepada seluruh penghuni bumi, sehingga objek dakwahnya bukanlah bangsa Arab saja. Rasulullah SAW berdakwah kepada setiap manusia karena kerasulannya merupakan rahmat atas semesta alam. Dakwah Rasulullah dimulai sejak awal penerimaan wahyu. Sebagai Rasul, pribadi Muhammad menjadi channel, yang melalui diri Nabi Muhammad Allah menurunkan perintah dan larangan-Nya, baik yang tertuang di dalam al-Qur’an, maupun contoh-contoh dan penjelasan yang diungkapkan dengan sunah dan hadis. Dari sinilah ajaran Islam ditransfer kepada ummat Islam dari generasi ke generasi.  
Untuk kepentingan kelanjutan dakwah, Rasulullah juga bahkan menjalankan proses kaderisasi yang berkelanjutan dalam rangka meneruskan dakwah Islam kepada generasi selanjutnya. Jika kita meninjau kembali sejarah Nabi, maka kita akan menemukan cara atau metode Rasulullah SAW dalam menyampaikan ajaran Islam kepada para sahabatnya, baik kaum laki-laki maupun perempuan. Ketika Rasulullah SAW masih di Makkah, dalam tiga tahun pertama beliau menjalankan dakwah dengan pendekatan personal secara rahasia, sembunyi-sembunyi, dan dari mulut ke mulut. Setelah jumlah pemeluk Islam mencapai kurang lebih tiga puluh orang, barulah Rasulullah SAW mengalihkan dakwahnya dengan pendekatan pendidikan. Namun demikian, pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka mempelajari ajaran Islam yang masih dirahasiakan. Hal ini dikarenakan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kaum kafir sebagai bentuk penentangan terhadap ajaran yang dibawa Rasulullah.[ii]
Bagaimanakah cara dakwah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, dan dari siapa beliau mencontoh praktek tersebut? Salah satu hadis menunjukkan proses taklim yang didapatkan oleh Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. Hadis ini dikenal dengan sebutan Hadis Jibril, yang dalam riwayat Muslim diceritakan oleh Umar RA. Umar mengatakan bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah SAW sedang bersama sahabatnya, datanglah seorang yang sudah tua berambut hitam pekat dan berkulit putih bersih. Tidak didapati tanda-tanda kalau ia telah melakukan perjalanan jauh, tetapi tidak juga diantara kami yang mengenal orang itu. Ia kemudian bersimpuh duduk di hadapan beliau, seraya berkata:
أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا (رواه مسلم )
“Wahai Muhammad, ceritakan kepadaku tentang Islam!” Nabi menjawab, “Anda bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, lalu anda melakukan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan mengunjungi baitullah jika memungkinkan melaksanakannya.” (H.R. Muslim)
Setelah mendengarkan jawaban Rasulullah SAW lelaki itu berkata: “Anda benar”. Pada saat itulah para sahabat Rasulullah heran, lelaki itu yang bertanya, tetapi dia pula yang  membenarkan jawaban tersebut. Lalu lelaki itu bertanya lagi,
فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّه (رواه مسلم)
Beritahu saya tentang iman!” Rasulullah berkata, “hendaknya anda beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta anda beriman dengan qadar yang baik maupun yang buruk”-Nya.” (H.R. Muslim)
                Setelah mendengarkan jawaban Rasulullah tersebut, lelaki itu kembali membenarkan dengan berkata kepada Rasulullah: “Anda benar”. Lalu ia kembali bertanya tentang ihsan.
فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم )
Beritahu saya tentang ihsan!” Rasulullah menjawab: “Hendaknya anda beribadah kepada Allah seakan-akan anda melihat-Nya, dan jika anda tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat anda.” (H.R. Muslim).
Lagi-lagi lelaki tersebut membenarkan jawaban yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, bahkan kemudian ia bertanya tentang datangnya hari kiamat dan lain sebagainya. Ketika orang tersebut bertolak pulang, kami berdiam diri beberapa saat, lalu sejurus kemudian Rasulullah SAW berkata kepadaku, “Wahai Umar, apakah engkau tahu siapa yang baru saja bertanya?” lalu Umar menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah pun bersabda, “Dia sesungguhnya adalah Jibril, yang datang kepada kalian guna mengajarkan agama kepada kalian semuanya.”
Dari hadis Jibril di atas kita dapat memahami ajaran-ajaran Islam yang meliputi 3 aspek utama: iman, islam, dan ihsan. Islam berarti tunduk dan patuh dengan sepenuh hati serta bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Nabi Muhammad utusan Allah dan menjalankan syariat-syariat yang ditentukan dalam Al-Quran dan hadis. Iman berarti meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Ihsan adalah buah dari iman dan Islam dalam bentuk budi pekerti dan kualitas penghayatan keimanan dan ibadah yang melekat pada diri seseorang setelah tunduk, patuh dan meyakini dengan sepenuh hatinya.
Ada beberapa lokasi pendidikan yang menjadi suatu majelis tersendiri, di mana Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam pada sahabat-sahabatnya. Diantaranya tempat-tempat tersebut yaitu Darul Arqam,[iii] rumah Rasulullah, rumah sahabat-sahabatnya, dan Al-Shuffah.[iv] Jika Darul Arqam merupakan lokasi pendidikan Rasulullah SAW sewaktu di Makkah, maka As-suffah itu sendiri merupakan tempat pendidikan Rasulullah SAW sesudah beliau hijrah ke Madinah.
Ketika awal munculnya agama Islam, Rasulullah SAW menggelar pertemuan rutin di Darul Arqam untuk mengajarkan berbagai kandungan agama Islam. Di dalam Darul Arqam inilah bermula cikal bakal majelis taklim yang berkembang pesat di zaman sekarang ini. Dalam pertemuan itu, setiap sahabat yang datang ke majelis tersebut menceritakan apa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian Nabi Muhammad SAW selaku pengemban amanat dalam membimbing umatnya mengarahkan dengan penuh keikhlasan dan kelemah-lembutan.
Rumah sahabat yang lain juga ada yang dijadikan tempat pendidikan. Apabila Rasulullah SAW kedatangan tamu-tamu dari daerah sekitar Madinah. Mereka menginap di rumah-rumah sahabat, seraya belajar agama Islam baik dari Rasulullah itu sendiri maupun para sahabatnya. Ketika Rasulullah SAW kedatangan rombongan tamu bani ’Abd al-Qais, mereka tinggal di Madinah selama sepuluh hari. Ketua rombongannya Abdullah al-Asyajj tinggal di rumah Ramlah binti al-Harits, sementara yang lain tinggal di rumah-rumah sahabat Anshar. Abdullah selalu bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam, sementara tamu-tamu yang lain setiap malam belajar dari sahabat-sahabat Anshar.
Bahkan sejarah telah mencatat bahwa majelis taklim khusus untuk perempuan pada masa Rasulullah SAW telah ada. Dasar utama terbentuknya majelis taklim ini adalah kebutuhan para sahabat perempuan (sahabiyat) akan ilmu agama sebagaimana sahabat laki-laki. Mereka meminta Nabi untuk menyediakan waktu khusus untuk perempuan karena merasa perhatian Rasulullah SAW kepada laki-laki lebih besar daripada kepada mereka.
Persamaan keinginan untuk belajar ini pada gilirannya membuat para sahabat perempuan memiliki semacam komunitas bersama. Tercatatlah nama Asma’ binti Yazid, seorang sahabat perempuan cerdas yang diangkat menjadi juru bicara para sahabiyat. Suatu kali di hadapan para sahabat laki-laki, Rasulullah SAW memuji kemampuan Asma’ ini. Lagi-lagi tema yang diangkat dan mendatangkan pujian Nabi ini mengenai persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Selain itu,  menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimat, sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.”[v]
Pertanyaan Asma’ yang diajukan kepada Rasulullah SAW dalam setiap kesempatan mendatangi majelis taklim Nabi merupakan persoalan kolektif yang dikumpulkan dari hasil pertemuannya dengan kaum perempuan lain. Para sahabat perempuan biasa mengajukan pertanyaan dan mengadukan persoalan mereka di masjid atau dalam suatu forum terbuka. Ini merupakan salah satu cara para sahabat perempuan menyampaikan aspirasi mereka. Cara lain adalah langsung bertanya kepada Rasulullah SAW secara pribadi, sesekali juga melalui istri-istrinya. Pertanyaan langsung secara pribadi kepada Rasulullah SAW pada umumnya dilakukan para sahabat perempuan jika persoalannya bersifat spesifik, seperti istihadhah atau menyangkut hubungan antara suami dan istri.
Menyampaikan aspirasi, baik yang bersifat memperjuangkan hak perempuan atau mencari tahu ajaran agama menjadi tradisi yang tumbuh subur di kalangan para sahabat perempuan, terutama di kalangan Anshar. Tidak heran jika Ummul Mukminin Aisyah RA memuji sikap perempuan Anshar yang tidak dihalangi perasaan malu-malu dalam memperdalam agama. Imam Bukhari mengabadikan pujian Aisyah menjadi judul bab dalam salah satu bahasan tentang ilmu dalam kitab Sahih Bukhari-nya. Dengan demikian, sejarah telah mencatat bahwa majelis taklim untuk kalangan kaum wanita pada masa Rasulullah SAW telah ada. Adanya majelis-majelis taklim ini merupakan suatu kebutuhan para kaum muslimat akan ilmu agama sebagaimana sahabat laki-laki. Kaum wanita semasa generasi pertama Islam patut dijadikan contoh oleh generasi sekarang ini. Ghirah dan semangat dalam menimba ilmu agama menjadi catatan tersendiri bahwa kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab dalam mengemban dakwah Islam.
Dari sinilah dapat kita pahami bahwa kaum wanita juga memiliki semangat yang tak terkalahkan oleh kaum laki-laki dalam menimba ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Abu Said al-Khudri, Nabi SAW menentukan hari-hari khusus untuk mengajar kaum wanita, setelah mereka mengadu kepada beliau karena mereka selama ini “dikalahkan” oleh kaum pria, sehingga tidak dapat mengikuti pengajian sebagaimana mestinya. Oleh karena itu Rasulullah SAW memberikan hari-hari tertentu untuk mengajarkan agama pada kaum wanita.
Persamaan keinginan untuk belajar ini pada gilirannya membuat kaum muslimat di zaman Rasulullah memiliki semacam komunitas bersama. Komunitas seperti ini kemudian berkembang terus hingga masa-masa selanjutnya. Bahkan mata rantai tersebut terus berkembang hingga sekarang ini, yang kita kenal dengan istilah majelis taklim. Inilah sedikit gambaran tentang adanya majelis taklim tempat kaum wanita di periode awal Islam dalam menimba ilmu-ilmu agama. Bahkan Majelis taklim yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak hanya terbatas di masjid, tetapi juga dilakukan pada beberapa tempat lain yang dipandang layak.


[i] Lihat al-Hakim al-Mustadrak ’ala al-shahihayn, Beirut: Dar el-Kutub al-’ilmiyya, ii, 670.
[ii] Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,), hal. 131.
[iii] Darul Arqam merupakan rumah salah satu sahabat Rasulullah yang bernama Al-Arqam bin Abu Al-Arqam. Rumah ini terletak di kaki bukit shafa dekat Masjidil Haram (Ali Mustafa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi).
[iv] Ali Mustafa Ya’qub, Ibid., hal. 131.
[v] Lihat Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Ja’miu’ as-Shaghir, fi ahadits al-basyir an-nazhir, hal. 325.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar