Sepotong Sejarah "Slengean" Slank
|
|
Foto: ISTIMiEWA Tak ada grup band, apalagi band rock di Indonesia yang mampu bertahan lama hingga kini seperti Slank. Menyambut tiga dekade berdirinya band ini, dirayakan dengan hadirnya fi lm panjang kedua mereka yang berjudul Slank Nggak Ada Matinya. 30 tahun malang-melintang di dunia musik Tanah Air, nama Slank bukan lagi sekadar sekelompok band. Slank telah menjadi corong suara dan cermin anak muda. Bukan hanya satu angkatan saja, namun terus menembus generasi di era-era selanjutnya. Belum ada satu band pun di Indonesia yang mampu mempertahankan konsistensi seperti itu. Mungkin status legendaris itu hanya mampu diimbangi seorang Iwan Fals. Slank adalah jati diri kaum muda dengan segala pemberontakannya melawan kemapanan, teriakan protes mereka saat melihat ketidakadilan sosial hingga politik. Lihat saja, ada saja kibaran bendera berlogo Slank yang menyerupai kupu-kupu itu pada kampanye partai politik. Berandai-andai, bila dihitung, jumlah slankers (sebutan para penggemar Slank), band ini sudah bisa membentuk partai dengan cabangnya di setiap provinsi. Bisa jadi meraih satu persen suara pemilih muda saat pemilu tahun depan andai saja logo Slank ada di kertas pemilih. Memang, setiap perjalanan sebuah band besar tidaklah selalu lurus dan mulus. Dari bongkar pasang personel hingga godaan gaya hidup rocknroll, yakni sex and drugs, terutama drugs alias narkoba, terus menerpa dan memberi stigma negatif kepada band yang menyisakan satu penggagas dan pendiri asli, Bimo Setiawan Almachzumi, sang drummer yang akrab dipanggil dengan nama Bimbim. Film ini tidak menuturkan secara lengkap historis berdirinya band yang bermarkas di Jalan Potlot 3 Nomor 14, di bilangan Jakarta Selatan itu. Hanya menyorot rentang 1996–2000 pada era transformasi dari formasi 13 menuju 14, formasi terbaru hingga kini. Karena pada era itu dianggap sebagai titik balik krusial. Pada 1996, setelah ditinggal tiga personelnya, tiga personel Slank yang tersisa, yakni sang drummer, Bimbim, Kaka sang vokalis, dan Ivanka yang mengisi bas, memanggil dua pemain tambahan, yaitu gitaris blues, Abdee Negara, dan Ridho yang juga mengisi posisi gitar. Setelah menyelesaikan rangkaian tur, kedua pemain itu pun direkrut sebagai personel tetap. Menelurkan album Tujuh pada 2007, justru membalikkan pamor band ini ke popularitas lebih tinggi. Pada masa menggarap dan tur album Mata Hati Reformasi di 1998, adiksi narkoba tiga personel, Bimbim, Kaka, dan Ivanka semakin menggila. Namun, Bunda Iff et, Ibunda Bimbim sekaligus manajer band, terus memberikan dukungan dan kasih sayang kepada mereka. Oleh mantan personel Slank yang telah bebas dari narkoba, mereka disarankan mencoba terapi pengobatan alternatif. Masa-masa penyembuhan ini adalah yang paling rentan bagi kesolidan band. Ridho dan Abdee, yang mencoba membantu ketiga teman mereka lepas dari narkoba, justru dianggap membenci. Bahkan, Ridho sempat ingin hengkang seusai rekaman di Lebak, Banten. Menikahnya Bimbim dengan gadis bernama Reny pun tak mampu menghentikan kebergantungannya terhadap barang terlarang itu. Slank "Baru" Tahun 2013 merupakan tahun penting bagi band yang berdiri pada 26 Desember 1983 itu. Menelurkan album ke-20, Slank Nggak Ada Matinya pada akhir Oktober lalu, kemudian sukses menggelar konser akbar pada 13 Desember. Konser di Ibu Kota itu juga menjadi titik balik penting karena sejak 2006 band ini dicekal tak boleh sering "manggung" sampai-sampai mengajukan uji materi undang-undang tentang Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi pada awal 2013, meski akhirnya dicabut. Hingga akhirnya merilis fi lm panjang kedua yang berjudul Slank Nggak Ada Matinya ini. Fajar Bustomi, yang terpilih menjadi sutradara, memilih merangkum kisah biopic band ini hanya pada era 1996 hingga 2000, karena dianggap sebagai titik balik perjuangan Slank yang ingin bersih dari citra narkoba. Drama dengan bumbu komedi diusung dengan alasan agar film ini lebih merakyat dan dinikmati semua kalangan ketimbang fi lm terdahulu yang agak nyeni, Generasi Biru (2009), musikal tanpa dialog garapan kolaborasi tiga sineas, Garin Nugroho, John De Rantau, dan Dosy Omar. Memang, 30 tahun teramat panjang bila harus dimuat rinci ke dalam film komersial standar sepanjang 100 menit. Namun, Fajar, yang dibantu oleh Cassandra Massardi sebagai penulis naskah, mampu menghadirkan storytelling dan inti cerita yang fokus. Tentang bongkar-pasang personel dan jatuh-bangun sebuah band ala VH1 Behind Th e Music atau fi lm band ala Almost Famous (2000) karya Cameron Crowe, sudah dapat tersampaikan dengan jelas. Begitu juga dengan pesan moral dan humanisme masing-masing personel berjalan imbang dengan reka ulang momen-momen historis diiringi dengan penempatan soundtrack dari repertoar lagulagu Slank yang sesuai. Contohnya, cukilan sejarah pada adegan latihan saat penciptaan lagu hit mereka, Balikin, saat Abdee memainkan teknik slide dari sebuah pemantik api. Satu-satunya kelemahan justru terletak pada main cast atau para bintang utama pemeran personel Slank. Adipati Dolken, yang berperan sebagai Bimbim, terkesan hanya mengambil "kulit", semirip mungkin dengan Bimbim. Asal berbicara gaya "teler" khas Bimbim, tidak mendalami pergumulan tokoh asli. Begitu juga dengan Ricky Harun, yang memerankan Kaka. Konfl ik rumah tangga dengan istri pertamanya yang diperankan Kirana Larasati, seharusnya bisa menjadi segmen drama yang kuat dan berpotensi menjadikan tokohnya sebagai peran utama kedua. Sayang, putra peragawati Donna Harun itu tak mampu mengemban tugas itu. Walhasil, tokoh sepupu Bimbim itu justru menjadi peran semi konyol. Demikian halnya dengan Aaron Ashab sebagai Ivanka dan Ajun Perwira sebagai Ridho. Keduanya malah terlihat bagai anak muda band masa kini. Pencuri perhatian justru diperlihatkan oleh performa Deva Mahendra sebagai Abdee. Sebagai tokoh suara rasional dan bijak, aktor muda ini cukup mampu "mengulik" tokoh dan mendongkrak penceritaan dari tenggelamnya ansembel acting level drama sekolah rekanrekannya. Setidaknya, bersama aktris senior, Meriam Bellina, sebagai Bunda Iff et, Deva cukup mampu membuat fi lm ini masih bernuansa –mengutip judul album pada 2005- Slankisme. Secara keseluruhan, biopic ini sudah baik dalam menggambarkan satu fase metamorfosis Slank dan revolusi serta resolusi sebagai band baru yang bersih dari narkoba yang bertujuan menyebarkan salam perdamaian dan persatuan lewat karya-karyanya. Walau ringan, namun masih mampu berpesan. Semoga ada sineas yang mau menggarap babak lain sejarah Slank dengan lebih komprehensif. Mulai dari Cikini Stones Complex hingga Red Evil. Atau geng Potlot lainnya, seperti Well Willy, Jaya (Whizzkid), almarhum Andy Liany, Nita Tilana, dan Imanez, hingga Oppie Andaresta sampai formasi 13 yang paling terkenal dengan masuknya Bongki, Indra, dan Pay. Slank Nggak Ada Matinya telah tayang di bioskop di Indonesia sejak Selasa pekan ini. ruben yan bolang SLANK NGGAK ADA MATINYA Sutradara: Fajar Bustomi Pemain: Adipati Dolken, Ricky Harun, Aaron Ashab, Deva Mahendra, Ajun Perwira, Meriam Bellina, Kirana Larasati, Alisia Rininta, Poppy Sofia, Olivia Jensen, Tora Sudiro, SLANK (Kaka, Bimbim, Abdee, Ridho, Ivanka) Penulis Naskah: Cassandra Massardi Produser: Chand Parwez Servia, Fiaz Servia Durasi: 100 Menit Genre: Drama, Komedi, Biografi Produksi: Kharisma Starvision Plus |
|
BERITA TERKAIT Balada Perempuan Penyeduh Kopi Delicious Monday Good Taste, Good Mood Perlunya Sosialisasi kepada Para Pelanggan Find The Perfect Shoes |
Kamis, 28 Agustus 2014
Sepotong Sejarah "Slengean" Slank
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar